Ada dua sinyalemen menarik yang paradog, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tidak berjalan linier dengan pengurangan pengangguran secara signifikan. Di tambah sinyal dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam sidang tahunan Bank Pembangunan Asia (ADB), bahwa tanda-tanda krisis seperti 1997 akan muncul lagi, yaitu membajirnya likuiditas (pasokan dana segar) di negara-negara Asia, tepat setelah satu dasawarsa krisis menjalari negara-negara Asia. Kasus di Jawa Tengah misalnya, meskipun pertumbuhan ekonominya meningkat selama 5 tahun terakhir, Sensus Ekonomi BPS Jawa Tengah juga menunjukkan meningkatnya laju pengangguran. Tercatat bahwa pada tahun 2001 tingkat pertumbuhan ekonomi sebanyak 3,59 %, naik menjadi 5,33% pada 2006 (Suara Merdeka, 11/5/2007). Tenaga kerja yang terserap sekitar 7,78 juta, dan tersebar di seluruh sektor ekonomi kecuali pertanian, meliputi sektor industri pengolahan dan perdagangan masing-masing menyerap 2,64 juta orang dan 2,43 juta orang. Mencermati fenomena ini layak bilamana publik bertanya-tanya apa relevansi pertumbuhan makro ekonomi dengan pergerakan sektor riil? Dan ujung dari tanda tanya besar tersebut adalah dimana ditempatkan nasib rakyat di antara data-data ekonomi tersebut?
Selama ini strategi Pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan makro ekonomi salah satunya dilakukan dengan upaya meningkatkan daya saing Indonesia di pasar Internasional dengan harapan mendorong ekonomi Indonesia melalui peningkatan investasi, ekspor, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Pertanyaan lain yang muncul adalah, strategi seperti apakah yang telah disiapkan pemerintah untuk menciptakan industri yang layak atau yang bisa diandalkan untuk bersaing di kancah Internasional mengingat Indonesia belum memiliki industri andalan dan belum memiliki kekuatan yang signifikan untuk pasar domestik. Reformasi mikroekonomi di sektor riil sendiri tidak pernah dilakukan, dan tanpa adanya restrukturisasi di sektor mikro, pertumbuhan makro ekonomi tidak akan terjadi dan data pengangguran terus akan melonjak walupun kononnya terjadi "pertumbuhan" ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor ekonomi. Pelaksanaan industrialisasi secara random tanpa adanya kajian menyeluruh demi mencapai kesejahteraan bersama telah membahayakan negeri ini.
Di sisi lain, sebagai negara agraris, arah pembangunan seharusnya dipusatkan pada pemberdayaan dan pemandirian masyarakat petani, dan bukan sebaliknya, malah mengesampingkan sektor riil dan kesejahteraan masyarakat petani. Sektor riil selalu dianggap sebagai sektor yang tidak mungkin maju tanpa digalakkannya industrialisasi pada sektor tersebut. Padahal telah disadari bahwa industrialisasi hanya akan menghasilkan jutaan buruh tani berubah "nasib" menjadi buruh industri. SBY sendiri pernah melontarkan gagasan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang di sebut-sebut salah satu dari "Triple Track Strategy" Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. Target penurunan kemiskinan dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2 % tahun 2009 dan penurunan pengangguran terbuka dari dari 9,7 % tahun 2004 menjadi 5,1% tahun 2009, dan mengharuskan pemerintah menggenjot laju berbagai usaha pembangunan ekonomi untuk mencapai antara lain pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6,6 % per tahun. Disamping itu rasio investasi terhadap GDP harus naik dari 16,0 % pada tahun 2004 menjadi 24,4 % pada tahun 2009; dan rata-rata pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan mencapai 3,5 % per tahun. Namun ironisnya, program tersebut berhenti pada jargon dan hampir tidak ada implementasi mendasar dan tidak hanya itu seluruh lapisan masyarakat pun menjadi korban dari gagasan Revitalisasi. Bukannya memperbaiki ekonomi domestik melainkan mengeskplotasi sektor riil melalui industrialisasi yang mematahkan kemandirian masyarakat petani. Apa buktinya? Harga beras yang membumbung tinggi, impor beras naik drastis. Akibat lanjutan tentu saja tidak ada upaya perbaikan nasib petani yang menyokong program-program pro-petani. Bahkan pembukaan kran impor makin deras. Terlihat sekali kepentingan pedagang jauh lebih kuat daripada memberdayakan petani yang dari dulu tidak pernah terang nasibnya.
Mungkin ada benarnya jika kita mengklasifikasikan diri sebagai negara kaum buruh, karena kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat petani, tidak pernah bergerak secara vertikal melainkan bergeser secara horizontal dimana rakyat hanya menerima nasib sebagai buruh, sehingga ketika kita berbicara mengenai posisi rakyat Indonesia di antara kebijakan ekonomi dan moneter yang dicanangkan pemerintah, rakyat kita tidak memiliki satu posisi tawar apapun karena pemerintah selama ini hanya mengandalkan comparative benefits yang bergantung pada upah muruh yang sangat murah dan eksploitasi sumber daya alam melalui rancangan program-program revitalis (baca: industrialisasi).
Meskipun di tingkat internasional ada seruan untuk mengurangi tingkat kemiskinan secara signifikan dengan batas waktu tahun 2015, atau sering dikatakan MDGs (Millennium Development Goals), juga tidak berpengaruh banyak mengubah paradigma pemerintah untuk pro terhadap nasib petani, yang secara mayoritas menempati urutan teratas matapencaharian rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan tidak ada program yang diimplementasikan secara nyata, dan tidak berhenti pada jargon politik semata dan untuk memperkuat citra rezim.
Disamping itu lahirnya UU Penanaman Modal (UU PM) beberapa waktu lalu, yang menuai badai protes dari masyarakat dan membuat situasi ekonomi sektor riil semakin terpuruk. UU PM ini menggantikan UU Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri (UU PMA No 1 Tahun 1967dan UU PMDN No 6 Tahun 1968) yang telah berlaku selama 30 tahun. UU PM makin menggenapkan dugaan bahwa pada hakikatnya pemerintah tidak pernah pro-rakyat dan lebih memihak pada kepentingan investor. Seolah-olah lahirnya UU ini juga membuka tabir "neoliberal malu-malu". UU PM yang mempercepat laju swastanisasi dan menjembatani kepentingan para neo-liberalist ini juga tidak pernah dikaji ulang oleh pemerintah. Sudah terang pula, bahwa secara langsung telah terjadi penghianatan terhadap pasal 33 dimana seharusnya pemerintah melindungi kepentingan seluruh masyrakat Indonesia dan sumberdaya yang dimiliki oleh bangsa ini. Akan sangat sulit untuk mengontrol Penanaman Modal terutama Foreign Direct Investment jika kita tidak melakukan usaha yang melindungi sektor-sektor riil. Posisi Pemerintah Indonesia yang mendukung liberalisasi perdagangan di level internasional, secara langsung telah mendukung agenda badan-badan keuangan swasta Internasional untuk mendongkrak swastanisasi perusahaan-perusahaan milik negara dan investasi swasta asing.
Pergantian personel menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) baru berlangsung satu minggu lalu. Tidak ada yang menonjol dari figur-figur yang masuk dalam jajaran kabinet. Sepertinya, nuansa kompromi politik dan penguatan dukungan menuju 2009 bagi rezim berkuasa lebih kuat daripada tujuan untuk memperbaiki nasib rakyat yang tidak kunjung membaik pasca krisis ekonomi yang sudah berlangsung hampir 1 dasawarsa. Program-program yang menyentuh ekonomi kecil juga nampak tumpul dari kreasi-kreasi menteri yang ada, baik tatkala reshuffle jilid pertama maupun kedua ini. Mereka lebih terpaku pada indikator makro yang sebetulnya lebih mirip seperti mitos dalam perbaikan nasib rakyat secara nyata. Terbukanya cadar karakter ekonomi rezim SBY-JK ini menyatakan bahwa Pemerintah dengan bulat-bulat dan suka rela menyerahkan nasib rakyat pada kepentingan asing. Selayaknya Pemerintah sudah bisa memulai upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang pro rakyat, dan untuk itulah diperlukan perubahan sikap dan strategi pada sektor mikro serta pembenahan sektor ekonomi domestik serta kebijakannya dan tidak mengeskpos diri terhadap ekonomi neo-liberalisasi melalui swastanisasi sektor-sektor utama milik negara yang merusak ekonomi baik di level makro maupun mikro. Oleh karena itulah, pantas kalau kita harus meratapi nasib Indonesia.
(Wawan Fahrudin, dan C.Naida, Peneliti Pathways Institute)